Ribuan orang masih saja berdesakan di depan loket pengambilan. Bosan.
Lalu kualihkan pandangan ku menyisir deretan warung nasi di samping kantor
bupati Lombok Utara, ada yang menarik di sana. Ada sepasang perempuan dan
laki-laki yang mendekat pada ku. Cantik. Itu yang terpikir, dan sontak senyum
ku mengembang karena ternyata mereka adalah sosok yang sudah lama ingin aku
temui.
Selanjutnya, aku dan perempuan itu larut dalam percakapan panjang sementara suaminya
sedang berdesakan bersama ribuan orang di loket sana.
Hmm..Aku iri melihat perempuan di depan ku. Jilbabnya yang terulur
panjang, wajahnya yang bulat manis, putih, dan terlihat ramah. Terlebih lagi,
dia sedang hamil di bulan ke-5.
aah..aku selalu iri pada perempuan yang sedang hamil.
MENIKAH
MUDA
Aku Shock. Ada seorang teman yang telah mengambil sebuah keputusan yang
bagi ku adalah keputusan yang sangat berani. Keputusan berani itu pun dia ambil
yaitu dengan cara menikahi seorang gadis yang usianya baru 18 tahun dan baru
saja menanggalkan seragam putih abu-abu. Gadis yang di nikahinya itu ternyata,
usut punya usut adalah siswanya di sebuah sekolah Aliyah di Daerah Narmada
sana.
GILA.. bener2 GIL. Aku
sampai tidak terbayang kalau dia berani mengambil keputusan senekat itu (sorry
to say ya, saya bilang begitu). Karena selain si temen aku ini belum punya
pekerjaan tetap, si perempuannya juga baru lulus SMA.
Guys, berangkat dari sebuah
keputusan besar yang diambil perempuan di depan ku itu akhirnya membuat aku
berpikir. Apakah aku akan mengambil keputusan yang sama seperti dia? apakah aku
mampu mengambil keputusan seberani itu? aku pun pun mulai mengukur diri.
Menikah
Dini atau menikah Nanti? Sama-sama Hebat!
Lagi. Untuk ke sekian kali, aku mendatangai resepsi pernikahan teman sebayaku.
Seperti mimpi saat kulihat Kadir dan istrinya yang cantik bersanding di
pelaminan yang sederhana. Senyum merekah dari keduanya menyebarkan rasa bahagia
pada seluruh tamu yang hadir. Sambil bergenggaman jemari, sesekali suaminya
berbisik dekat pada gadis yang telah menjadi istrinya. Seorang gadis
pilihannya, yang ia suka, yang ia sayangi. Dan sekarang, gadis itu duduk didepan
ku dengan perut seksinya… heheheheee..a
“Ruh-ruh itu laksana pasukan tentara yang
dimobilisir. Yang saling mengenal dapat berkasih sayang. Sedang yang tidak
saling suka akan senantiasa berlawanan” (HR. Al bukhari, Muslim, Ahmad, riwayat
dari Abu Hurairah)
Bagi sebagian orang, termasuk Kadir, yang telah siap mengemban “mitsaqon-
ghalizha” sebuah perjanjian yang tercantum dalam Al-Qur’an sebagai perjanjian
yang sangat berat, tentulah menyadari status dan tugas barunya. Ia adalah
seorang suami dan calon ayah yang bertanggungjawab bagi keluarganya. Begitu
juga istrinya.
Keputusan Kadir dan istrinya untuk
menikah dini adalah hebat. Keputusan teman-temanku yang lain untuk menikah
nanti pun hebat.
Menikah dini atau menikah nanti sesungguhnya sama-sama hebat. Tergantung
konteks. Menikah dini dengan alasan telah siap lahir bathin, menyambung tali
kasih sayang, menjaga kesucian dan menjaga kehormatan diri, menghasilkan banyak
anak-anak hebat di kondisi orangtua yang masih produktif dan sehat tentu alasan
yang tepat. Menikah nanti dengan alasan merasa belum mampu untuk menambah
tanggungjawab dan merasa masih mampu menahan gejolak hasratnya sehingga memilih
untuk terus mengisi dan memperbaiki diri terlebih dahulu, itu pun adalah orang
hebat.
Bukankah memperbaiki diri berarti memperbaiki jodoh?
Mereka adalah orang-orang yang menyadari tak mudah membagi
konsentrasi hingga memilih untuk fokus kuliah, fokus menaikkan kualitas diri
dengan terus belajar. Tentunya belajar dalam artian luas. Belajar pada
siapapun, kapanpun, dimanapun, pada apapun yang membuat dirinya menjadi pribadi
yang cerdas dan matang, atau ada beberapa kasus bahwa ia kemudian menjadi tulang
punggung keluarga hingga fokus untuk membantu perekonomian, menyekolahkan
adik-adik, membahagiakan orang-orang yang telah begitu berjasa dalam hidupnya.
Tidakkah itu golongan orang-orang hebat, ketika ‘kebahagiaan pribadi’ itu pun
rela disingkirkan untuk sementara waktu karena kecintaannya pada keluarganya?
Banyak buku bertebaran kini dengan tujuan mengajak menikah muda. Biasanya
buku-buku dengan genre seperti itu, laris di pasaran. Market-nya siapa lagi
kalau bukan para anak muda. Begitu pula dengan majelis-majelis yang pasti
selalu saja ramai didatangi kalau yang menjadi tema tak jauh-jauh tentang
menikah muda.
Ada
asap pastilah ada api.
Buku-buku atau tema-tema itu menjadi sedemikian booming-nya tentu menjadi
alasan tersendiri bagi mereka yang prihatin melihat keadaan anak muda masa
kini. Daripada ‘aneh-aneh’, ayo menikah! Begitulah kira-kira yang bisa ku simpulkan.
Dampaknya bisa macam-macam. Dampak positifnya para anak muda akan termotivasi
untuk menikah. Termotivasi mempersiapkan kondisi lahir bathin-nya untuk
bersanding dengan pujaan hati yang telah lama menjadi idamannya. Yang malas
belajar jadi semangat belajar. Yang santai-santai saja mencari penghasilan,
jadi semangat dalam bekerjanya. Wow.. indah bukan? Kalau seperti ini aku pun
setuju.
Tapi kulihat ada beberapa teman setelah membaca buku atau mendatangi majelis
biasanya semangat menikah begitu menggelora di dada. Terpesona pada kenikmatan
yang di dapat dalam pernikahan. Lupa bahwa menikah dikatakan
menyempurnakan setengah dien dikarenakan begitu berat perjalanan yang akan
dilalui. Belum ada persiapan apa-apa langsung
tancep gas saja ingin menikah. Seperti perang. Pisau belum diasah, masih
tumpul, sudah main terjun aja ke lapangan. Atau baru punya pisau satu yang
tajam, langsung tergesa-gesa ingin bertarung aja. Belum apa-apa musuh udah
membuat kita KO dengan senapannya. Maka sebelum berperang, paling tidak sudah
punya persiapan pisau, senapan kalau bisa bom sekalian agar bisa menang dalam
pertarungan. Hehe..
Maksudku di sini, paling tidak memiliki persiapan yang cukup menuju ke mahligai
pernikahan.
Menikah hanya dengan alasan keinginan untuk melindungi dan dilindungi,
keinginan untuk disayang dan menyayangi, diperhatikan dan memperhatikan,
ditemani dan menemani agar tak kesepian atau sejenisnya tidaklah cukup. Menikah
bukan perkara sesederhana itu. Menikah adalah perkara tanggungjawab. Pertanyaannya kemudian, siapkah kita menjalani
tanggungjawab itu? Tanggungjawab untuk mencari nafkah bagi lelaki dan mengurus
rumah tangga bagi perempuan. Menyiapkan sedini mungkin tabungan untuk segala
perkara yang tak terduga ( biaya pendidikan, berobat dll). Walau memang
pernikahan memperluas rizki, tapi tak berarti ‘nekat’ menikah tanpa memiliki
tabungan sedikit pun, bukan? Tentunya kita selalu ingin memberikan yang terbaik
bagi orang-orang yang disayangi. Maka persiapkanlah itu. Tak perlu lantas
menunggu menjadi seorang yang kaya raya dahulu baru menikah. Paling tidak
memiliki semangat dalam upaya mencari nafkah (dalam artian memiliki sikap
mandiri yang wajib diemban bagi mereka yang memilih untuk menikah). memiliki
semangat dalam upaya untuk terus belajar dan menyerap ilmu (karena lelaki
menjadi imam yang tentu saja harus butuh ilmu untuk membimbing keluarganya. Pun
seorang wanita yang menjadi guru pertama bagi anak-anaknya kelak).
Menikah cepat itu baik tapi tidak
berarti tergesa-gesa.
Tergesa-gesa
dikhawatirkan berujung pada kecewa. Salah satu contoh menikah tergesa-gesa, adalah
(pembelajaran bagi kita semua), tak terlalu mengenal sang calon, sudah terbuai
dulu pada sosoknya yang begitu kharismatik, ternyata setelah menikah baru
ketahuan telah memiliki istri lain.Ingatkan kasus artis kita yang sempat
merajai pemberitaan media masa di negeri ini? Contoh lain, setelah menikah
ternyata malah merepotkan orang lain. Tak menyangka bahwa begitu banyak
persoalan dalam rumah tangga hingga orangtua, kerabat, teman-teman ikut
dilibatkan. Waah.. ternyata belum bisa untuk mandiri…
Okay, kalau masalah
keinginan insya Allah saya sudah siap untuk menikah. Tapi ya untuk
masalah kesiapan financial, pendidikan anak, dan lain sebagainya, saya rasa saya
masih perlu banyak belajar dan persiapan.
memang, ada kalimat
yang mengatakan bahwa dengan menikah Allah akan melapangkan rezeki. Jangan
khawatir untuk masalah rezeki. Insya Allah jika untuk kebaikan Allah pasti akan
membantu.
Yups, saya setuju
dengan kalimat itu. Tapi, kita juga harus berpandangan realitis. Kita harus
melihat tantangan jaman sekarang ini. Tantangan perekonomian. pendidikan,
akhlak, dan lain sebagainya. Lalu jika kita sudah sadar akan kedahsyatan
tantangan itu, cukupkah kita hanya bermodalkan dengan keyakinan bahwa Allah
akan melapangkan rezekinya untuk kita? Tentu tidak! Kita juga harus dimodali
dengan usaha kerja keras untuk mendapatkan itu semua.
Sahabat muda yang
tengah berbunga-bunga karena cinta..
Menikah memang mudah,
tapi kehidupan setelah pernikahan tidaklah mudah.
Berhati-hati agar tidak tergesa-gesa menikah berbeda dengan menunda-nunda
pernikahan. “Nanti setelah lulus kuliah baru menikah”, setelah lulus sarjana
muncul perkataan lain, “setelah S2 dulu deh baru nikah”, “setelah kerja aja deh
nikahnya” atau.. “setelah posisiku di kerjaan settle dulu deh”..setelah ini
setelah itu dst.. Sampai akhirnya terus menunda.. entah sampai kapan.. bukan seperti
itu.
Sekedar
ice breaking:). Ya, apabila telah mengenal calon dan keluarganya dengan baik,
siap lahir batin ditambah sudah tak mampu lagi menahan hasrat, untuk apalagi
menunda?
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah
bersabda, “3 orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah
seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang
selalu memberi penawar, dan..
Seorang yang menikah untuk menjaga
kehormatannya” (HR. Thabrani)
Menjadi juara adalah keberanian menentukan sikap, bukan menunggu waktu hingga
datang kedewasaan bersikap. Selamat pada kau yang sedang menggenggamnya…
Akhirnya..teruntuk
semua pasangan dan wabilkhusus Kadir dan Ida..
Semoga
Allah memberi berkah kepadamu di waktu senang dan susah serta mengumpulkan
kalian berdua dalam kebaikan…
.
Semoga Allah menganugerahi kalian keturunan sebagai penyenang hati kedua
orangtuanya…
** NB : semua ini
sekadar opini gue aje ye... klo ada yang mau ngasih masukan, yoo monggo :D